Jumat, 18 April 2008

चिंता lagi

Cinta itu seperti kupu-kupu. Tambah dikejar, tambah lari. Tapi kalau dibiarkan terbang, dia akan datang disaat kamu tidak mengharapkannya. Cinta dapat membuatmu bahagia tapi sering juga bikin sedih, tapi cinta baru berharga kalau diberikan kepada seseorang yang menghargainya. Jadi jangan terburu-buru dan pilih yang terbaik.

Cinta bukan bagaimana menjadi pasangan yang "sempurna" bagi seseorang. Tapi bagaimana menemukan seseorang yang dapat membantumu menjadi dirimu sendiri.

Jangan pernah bilang "I love you" kalau kamu tidak perduli. Jangan pernah membicarakan perasaan yang tidak pernah ada. Jangan pernah menyentuh hidup seseorang kalau hal itu akan menghancurkan hatinya. Jangan pernah menatap matanya kalau semua yang kamu lakukan hanya berbohong.

Hal paling kejam yang seseorang lakukan kepada orang lain adalah membiarkannya jatuh cinta, sementara kamu tidak berniat untuk menangkapnya...

Cinta bukan "Ini salah kamu", tapi "Ma'afkan aku". Bukan "Kamu dimana sih?", tapi "Aku disini". Bukan "Gimana sih kamu?", tapi "Aku ngerti kok". Bukan "Coba kamu gak kayak gini", tapi "Aku cinta kamu seperti kamu apa adanya".

Kompatibilitas yang paling benar bukan diukur berdasarkan berapa lama kalian sudah bersama maupun berapa sering kalian bersama, tapi apakah selama kalian bersama, kalian selalu saling mengisi satu sama lain dan saling membuat hidup yang berkualitas.

Kesedihan dan kerinduan hanya terasa selama yang kamu inginkan dan menyayat sedalam yang kamu ijinkan. Yang berat bukan bagaimana caranya menanggulangi kesedihan dan kerinduan itu, tapi bagaimana belajar darinya.

Caranya jatuh cinta: jatuh tapi jangan terhuyung-huyung, konsisten tapi jangan memaksa, berbagi dan jangan bersikap tidak adil, mengerti dan cobalah untuk tidak banyak menuntut, sedih tapi jangan pernah simpan kesedihan itu.

Memang sakit melihat orang yang kamu cintai sedang berbahagia dengan orang lain tapi lebih sakit lagi kalau orang yang kamu cintai itu tidak berbahagia bersama kamu.

Cinta akan menyakitkan ketika kamu berpisah dengan seseorang lebih menyakitkan apabila kamu dilupakan oleh kekasihMu, tapi cinta akan lebih menyakitkan lagi apabila seseorang yang kamu sayangi tidak tahu apa yang sesungguhnya kamu rasakan.

Yang paling menyedihkan dalam hidup adalah menemukan seseorang dan jatuh cinta, hanya untuk menemukan bahwa dia bukan untuk kamu dan kamu sudah menghabiskan banyak waktu untuk orang yang tidak pernah menghargainya. Kalau dia tidak "worth it" sekarang, dia tidak akan pernah "worth it" setahun lagi ataupun 10 tahun lagi. Biarkan dia pergi...

Minggu, 30 Maret 2008

titip ibuku Ya Allah

“Nak, bangun… udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja…” Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah perusahaan tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah. “Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa” pintaku pada Ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ibu mudah sekali sedih ? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca … orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ….. tapi entahlah…. Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih. Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa. Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih ? ”Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata Ibu berkata,”Tiba- tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri ” Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing. Diam-diam aku bermuhasabah. .. Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ? Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, ” Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan . Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu . Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.” Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu. ” Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi…Ah, maafkan kami Ibu … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ibu lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ? ” Nak… bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah Ibu siapin dimeja.. ”Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan, ” Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu…”.Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. .. Cintaku ini milikmu,Ibu. .. Aku masih sangat membutuhkanmu. .. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu.. Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat”aku sayang padamu… “, namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah. Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita … Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada. Percayalah.. . kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia. Wallaahua’lam “Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu…, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil. Titip Ibuku ya Allah” created by Calon_akhwat

arti sebuah obrolan

Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya obrolan masyarakatnya. Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid. Dalam obrolan mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut: "Berapa rumah yang sudah engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada di rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis? Dan semacamnya." Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya, lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya. Dalam obrolan mereka, terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut: "Hari ini engkau sudah membaca Al Qur'an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa pada bulan ini? Dan semacamnya." Mungkin diantara kita ada yang mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah? Dari aspek hukum syar'i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias tidak ada larangan dalam syari'at. Akan tetapi, bila hal itu kita tinjau dari sisi lain, misalnya dari tinjauan tarbawi da'awi misalnya, maka hal itu menujukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa juga kita katakan, telah terjadi obsesi pada ummat. Pada masa Sahabat (Ridhwanullah 'alaihim), obsesi orang -dengan segala tuntutannya, baik yang berupa feeling ataupun 'azam, bahkan 'amal -selalu terfokus pada bagaimana menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi itu telah berubah. Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya semangat jihad, semangat da'wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Al Hamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali "gaya" dan "pola" obrolan masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup masyarakat. Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin). Tujuan dia memasuki wilayah Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin mengobrol, ya, "hanya" untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat itu. Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan informasi tentang gaya an kaum muslimin, tertumbuklah pandangannya kepada seorang bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan seekor burung. Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fi sabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka masih terobsesi untuk berjihad fi sabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah itu tadi. Antara obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi. Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak terlupakan, ia datangi pula masjid. Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan: Budak perempuan saya yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya bagus, desainnya canggih, luas dan sangat menyenangkan, dan semacamnya. Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu, sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim. Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah... Betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita sekarang ini? Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita? Sadarkah kita bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah kita persiapkan sedemikian rupa? Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da'i, yang baru saja turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum'at dengan tema: "Kezuhudan salafush-Shalih dan pengaruhnya dalam efektifitas da'wah". Sehabis shalat Jum'at, anda mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda dan mereka memperbincangkan. Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya. Cobalah anda menerka, pengaruh apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum'at atau materi yang anda sampaikan lewat obrolan? Sekali lagi, memang obrolan semacam itu bukanlah masuk kategori "terlarang" secara syar'i, akan tetapi, saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da'wah ilallah. Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah... Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya obrolan kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang terjadi saat kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi antar sesama aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita. Saat itu, obrolan kita tidak pernah keluar dari da'wah, da'wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang? Silahkan masing-masing kita menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita da'wah dan tarbiyah saat itu dengan seringnya kita mendengar adanya dha'fun tarbawi di sana sini. Oleh : Ust. Musyaffa Ahmad Rahim, Lc created by Calon_akhwat

anyaman tikar

Anyaman Tikar Dalam sebuah perjalanan, dua orang santri terpaksa menempuh jalan darat yang sangat jelek, belum diaspal, bergelombang dan banyak kubangan lumpur. Namun, santri yang memegang setang kemudi motor, tetap melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Berkomentarlah santri yang dibonceng: "qolbun-qolbun maksudnya: hati-hati, jangan ngebut, nanti kita bisa celaka. Dari penggalan kisah di atas, kita bisa mengambil satu pelajaran, yaitu: agar kita tidak celaka, kita mesti hati-hati, atau dalam bahasa Arab yang masih grotal-gratul: qalbun-qalbun. Jadi, kunci kecelakaan atau kebahagiaan terletak pada hati atau istilah Arab-nya: qalbun. Maksudnya, jika kita memperhatikan qalbun (kalbu atau hati) kita, niscaya kita akan berbahagia. Sebaliknya, bila kita tidak memperhatikannya, niscaya kita akan celaka. Rasulullah saw bersabda: Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika ia baik, baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, rusaklah seluruh jasab, segumpal daging itu adalah hati (nurani). (HR Muttafaqun 'alaih). Namun, di sinilah letak kerumitan makhluq yang bernama hati atau kalbu atau qalbun ini. Namanya saja qalbun. Secara harfiah, ia berarti mbolak-mbalik (jw), bolak balik, tidak stabil, tidak konstan, cepat sekali berubah. Seorang penyair Arab mengatakan: Manusia tidak disebut insan kecuali karena sifat pelupanya. Dan hati tidak dinamakan kalbu kecuali karena ia bolak balik (cepat berubah). Mengingat watak dan sifatnya yang seperti inilah, perlu perhatian ekstra dan super serius agar bagaimanapun mbolak-mbalik-nya hati kita, ia tetap beriman, berpegang teguh kepada Islam, komitmen dengan tata aturannya, serta konsisten meniti shirathal mustaqim, atau istilah qur'an-nya istiqamah, dan terus menerus menda'wahkannya kepada semua lapisan masyarakat. Tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah saw sangat sering sekali memanjatkan do'a: Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits hasan). Lebih repot lagi bila kita menyadari bahwa hati yang wataknya seperti itu tadi, pasti dan tidak bisa tidak, akan dihadapkan kepada berbagai macam godaan, cobaan, fitnah (menurut bahasa Al Qur'an dan Al Hadits, yang dimaksud fitnah adalah ujian atau test, bukan gosip), dan ibtila' (tribulasi). Baik tribulasi yang baik (harta, kedudukan atau tahta dan wanita) ataupun tribulasi yang jelek (sakit, kefakiran atau kemiskinan, dan semacamnya). Rasulullah saw menjelaskan bahwa tidak ada satu hati manusia-pun yang luput dari fitnah ini, semuanya akan dihadapkan kepada fitnah ini. Dan fitnah ini akan melewati setiap hati manusia seperti lewatnya anyaman tikar. Bukankah tikar tradisional itu anyamannya menyilang satu satu! Begitu pulalah antara hati dengan fitnah itu. Setiap hati akan bertemu dengan fitnah dan setiap fitnah pasti akan melewati hati. Rasulullah saw bersabda: Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat, maka hati mana saja yang menyerap fitnah itu, akan ternodalah satu titik hitam di atasnya, dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu marmar, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko miring, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. (HR Muslim) Bila kita hayati hadits Rasulullah saw ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil, diantaranya adalah: Semua hati manusia akan bertemu dengan fitnah (ujian,test), bahkan antara fitnah dan hati itu ibarat serat-serat tikar yang saling tumpang menumpang, silang menyilang dan tindih menindih, tidak ada satupun hati yang luput atau tidak terlewati atau terlalui fitnah itu Satu kali hati yang menyerap fitnah itu, atau menerimanya, atau OK terhadapnya, maka jadilah fitnah itu satu noda hitam pada permukaan hati itu. Dua kali OK terhadapnya, jadilah titik itu dua, begitu seterusnya, sehingga kalau sering-sering OK dengan fitnah-fitnah itu, jadilah seluruh permukaan hati itu hitam, tidak sedikitpun ada celah bagi cahaya (nur) untuk masuk ke dalamnya, begitu juga sebaliknya, dia tidak akan melihat cahaya (nur) selamanya. Karenanya, hati itu tidak akan lagi mengenal mana yang ma'ruf dan mana yang munkar, tidak lagi mengenal batasan halal dan haram, bahkan bisa jadi lebih parah lagi, yaitu: ia akan memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma'ruf, na'udzu billahi min dzalik. Sebaliknya, jika saat bertemu fitnah pertama kali ia tidak mau menerimanya, tidak menyerapnya dan tidak OK terhadapnya, atau istilahnya: menolaknya, maka penolakan ini akan menjadi satu titik putih yang cemerlang pada permukaan hatinya, dua kali menolak dua titik, dan seterusnya, sehingga seluruh permukaan hatinya akan berwarna putih cemerlang, yang dengan mudah akan menerima cahaya (nur) karena sejalan dengannya, dan dengan cahaya (nur) itu pula ia akan dengan mudah mengenali mana yang ma'ruf dan mana yang munkar, sehingga insya Allah, dengan mudah pula ia akan komitmen dengan yang ma'ruf dan konsisten untuk tetap mengingkari yang munkar. Bahkan bisa jadi ia akan tetap tegar seperti batu marmar putih yang tidak akan pernah terkotori oleh apapun sampai hari kiamat nanti. Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...... Betapa banyaknya fitnah yang coba dipaparkan dan ditawarkan kepada hati kita, terutama di era reformasi yang kata banyak orang sudah kebablasan ini, dimana segala hal boleh muncul dan terbuka secara bebas sebebas-bebasnya (terkecuali Al Haq). Dalam era seperti ini, sudah barang tentu banyak sekali fitnah yang mampir kepada kita, harta, wanita dan tahta, yang tidak lagi mengenal batas halal dan haram. Terlebih lagi jika kita berada di tengah kancah kekuasaan dan jabatan, sebab ada ungkapan bahwa jabatan atau istilahnya tahta adalah kubangan dua talainnya (wanita dan harta). Sudah barang tentu, tingkat kewaspadaan kita terhadap anyaman fitnah ini harus lebih ekstra, atau istilah grotal-gratul-nya harus lebih qalbun-qalbun seperti dalam cerita di muka. Semoga dengan sikap yang qalbun-qalbun ini kita diberi taufiq, hidayah dan 'inayah Allah swt untuk memiliki hati yang "putih seperti batu marmar, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi", sebagaimana yang tersebut dalam hadits di atas, amiiiin. Oleh : Ust. Musyaffa A. Rahim, Lc. created by Calon_akhwat

bermimpilah

Lho, memangnya gimana sih kok disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu kembangnya tidur? Bukankah kita harus realistis? Atau istilah Arab-nya waqi’iyyin, kenapa kok malah disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu ahlam (bentuk jama’ dari hulm, yang artinya mimpi di siang bolong)? Dan bukankah mimpi itu terjadi karena kebanyakan tidur? Tentunya yang saya maksud dengan mimpi itu bukan sekedar sesuatu yang kita lihat karena kebanyakan tidur. Bukan pula mimpi yang terjadi karena terbawa-bawa oleh nafsu syahwat menjelang tidur. Bukan pula karena kita dikejar-kejar oleh suatu atau berbagai persoalan duniawi, karenanya kita melihatnya di dalam mimpi. Akan tetapi, yang saya maksud dengan mimpi di sini adalah suatu gagasan besar, cita-cita agung, angan-angan mulia yang luhur, yang karena besarnya gagasan itu, atau karena agungnya cita-cita itu, atau karena luhurnya angan-angan itu, lalu banyak orang-orang yang tidak berilmu, atau berilmu, tapi ilmunya cethek alias dangkal, atau oleh orang-orang yang obsesinya rendah dan murah, kita dituduh sebagai kaum utopis, kaum pemimpi, lebih parah lagi kita dituduh sebagai pemimpi di siang bolong, atau istilah Al Qur’an-nya Adh-ghatsu ahlaam (hidupnya dibuai oleh mimpi-mimpi, QS Yusuf [12]: 44, Al Anbiya’ [21]: 5). Dalam suatu pertemuan, ada seorang syekh mengatakan: “La budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yakuuna qaa-idan”. Maksudnya: Seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak, dia tidak layak menjadi pemimpin. Mendengar pernyataan seperti itu, saya terperanjat dan kaget, lhoo kok begitu? Akan tetapi, sebelum saya mengingkari pernyataannya itu, saya mencoba mereview apa-apa yang pernah saya ketahui tentang mimpi, ternyata, banyak juga dalil atau argumentasi yang bisa saya kemukakan untuk membenarkan pernyataan syekh tadi. Pertama: Nabi Yusuf as pada waktu kecil telah bermimpi melihat sebelas bintang, satu matahari dan satu bulan bersujud kepadanya, dan ternyata mimpi itu kemudian menjadi kenyataan.(QS Yusuf [12]: 100). Kedua: Nabi Yusuf as membuat strategi, mengorganisir dan menjalankan program penyelamatan negeri Mesir dan sekitarnya dari bahaya kelaparan juga berangkat dari mimpi sang raja yang dia ta’wil-kan (sesuai dengan ilmu yang Allah swt berikan kepadanya) menjadi “sebuah manajemen strategis” yang sangat luar biasa. Ketiga: mukaddimah dari turunnya wahyu kepada nabi Muhammad saw adalah ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar), yang menurut riwayat ummul mukminin ‘Aisyah ra (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari): “beliau tidak melihat satu mimpipun kecuali seperti merekahnya fajar di pagi hari”. Keempat: Salah seorang ulama’, pemikir, da’i dan mujaddid Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi (kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari). Kaidah ini terus menerus dia doktrinkan kepada murid-muridnya, tentunya dengan berbagai argumentasi qur’an dan sunnah yang dia tetapkan sebagai rujukan utama gerakannya, sehingga, gerakan yang dia bangun itupun –menurut sumber majalah Al Mujtama’- sekarang telah tersebar ke lebih dari tujuh puluh negara di dunia, dimana gerakan seperti yang dia bangun itu, pada saat itu banyak yang menilainya sebagai gerakan kaum utopis, gerakan untuk merubah sesuatu yang hil dan mustahal, namun sedikit demi sedikit, hal-hal yang tadinya dianggap mimpi di siang bolong itupun berubah menjadi kenyataan. Salah satu argumentasi yang dikemukakan oleh Hasan Al Banna adalah kisah pembebasan Bani Israil dari keterbudakan rezim Fir’aun di Mesir. Bagaimana suatu bangsa yang sudah terbudak sedemikian rupa, pada akhirnya mampu melepaskan dirinya dari keterbudakan yang begitu dahsyat. Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah … Dunia sekarang telah dipenuhi oleh berbagai ketidak adilan, kezhaliman, kerusakan dan pertikaian. Dalam skala lokal saja, tanda-tanda semakin menjauhnya agenda reformasi yang pada awalnya diusung oleh para mahasiswa itu, bukannya semakin mendekat kepada kenyataan, justru bayang-bayang semakin menjauhnya cita-cita itu senantiasa tampak di depan mata. Namun demikian, kita tidak boleh berputus asa, kita harus senantiasa optimis, bahwa malam tidak akan selamanya malam, ia pasti akan berganti dengan merekahnya fajar, bukan fajar kadzib (fajar dusta, fajar yang setelah terang benderang gelap lagi), tapi fajar shadiq, fajar yang benar, fajar yang berlanjut dengan munculnya surya, munculnya mentari yang menyinari berbagai permukaan bumi, dan secara perlahan mengusir kegelapan malam yang tadinya begitu menyelimuti. Kita harus tetap tegar, tabah dan tsabat dalam mengusung cita-cita besar kita, cita-cita liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi (QS At-Taubah [9]: 33, Al Fath [48]: 28, dan Ash-Shaff [61]: 9), cita-cita hatta la takuuna fitnatun wa yakuunad-diinu (kulluhu) lillah (QS Al Baqarah [2]: 193, Al Anfal [8]: 39), dan cita-cita khaira ummatin ukhrijat linnaas (QS Ali Imran [3]: 110). Memang, banyak kalangan menilai bahwa cita-cita seperti itu hanyalah mimpi belaka, namun, berbagai argumentasi di atas, kiranya sanggup untuk membuat kita tidak tertipu oleh penilaian banyak kalangan itu, anggaplah hal itu hanyalah sebuah laumata laa-im (celaan orang yang mencela), yang harus kita sikapi dengan la yakhafuuna (tidak takut), sebagaimana disebutkan dalam QS Al Maidah [5]: 54, kita harus tetap tsabat agar kita menjadi representasi dari fasaufa ya’tillahu biqaumin, representasi dari qaum yang disebutkan dalam ayat tersebut. Dalam rangka merealisasikan mimpi kita yang besar itu, kita harus melakukan langkah-langkah binaa-ur rijaal (pembinaan tokoh-tokoh masa depan), sebab hanya dengan langkah seperti inilah, setapak demi setapak mimpi itu semakin dekat kepada kenyataan. Sebagai penutup dari taujih ini, marilah kita simak kisah tentang dialog antara Umar bin Al Khaththab ra dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin Al Khaththab berkata: “Berangan-anganlah!”. Maka salah seorang diantara yang hadir berkata: “Saya berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak uang (dinar dan dirham), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah”. Seorang lainnya menyahut: “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah”. Yang lainnya lagi menyahut: “Kalau saya, mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima, lalu saya abdikan diri saya untuk memberi minum air zamzam kepada jama’ah haji satu persatu”.Setelah Umar bin Al Khaththab mendengarkan mereka, iapun berkata: “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada Rijaal (tokoh) seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya”. Dari dialog tentang mimpi ini, kita dapat mengetahui betapa urgen dan pentingnya binaur-rijal itu.Semoga Allah swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mampu mewujudkan mimpi indah kita, amin. Oleh : Ust. Musyaffa A. Rahim, Lc. created by Calon_akhwat at

ketika iblis membentangkan sejadah

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. "Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus."Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir."Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung. "Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu". "Dengan apa?""Dengan sajadah!""Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?""Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!""Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?""Bukan itu saja Kiai...""Lalu?""Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar""Untuk apa?""Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.Keduanya masih melakukan sholat sunnah."Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi."Yang mana?""Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".Iblis lenyap.Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain."Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan. created by Calon_akhwat

ketika iblis membentangkan sejadah

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. "Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus."Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir."Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung. "Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu". "Dengan apa?""Dengan sajadah!""Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?""Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!""Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?""Bukan itu saja Kiai...""Lalu?""Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar""Untuk apa?""Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.Keduanya masih melakukan sholat sunnah."Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi."Yang mana?""Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".Iblis lenyap.Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain."Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan. created by Calon_akhwat